MEMAHAMI
TEORI, SISTEM DAN TANTANGAN PENGANGGARAN PADA SEKTOR PUBLIK DI INDONESIA
Oleh:
Erlinda Nur Khasanah
Magister Sains Akuntansi-Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Gadjah Mada
Pendahuluan
Organisasi di sektor publik dan sektor swasta memiliki
berbagai perbedaan. Hal mendasar yang membedakan keduanya yaitu tujuan yang
ingin dicapai. Pada sektor swasta, motif utama dalam menjalankan operasinya
adalah untuk memperoleh laba (keuntungan) yang sebesar-besarnya demi
meningkatkan kekayaan dari pemilik perusahaan (pemegang saham), sedangkan tujuan
utama dari sektor publik bukan untuk mencari laba, akan tetapi bertujuan untuk
menyediakan pelayanan kepada publik dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Selain dilihat dari segi tujuan, perbedaan mendasar lainnya yaitu
sumber pendanaan. Organisasi sektor swasta mendapatkan pendanaan dapat berasal dari
modal pemilik perusahaan, penjualan atas barang dan jasa, utang kepada bank,
dan lain sebagainya. Sedangkan organisasi sektor publik memperoleh dana yang
sebagian besar berasal dari masyarakat, yaitu berupa pajak dan retribusi. Oleh
karena itu, pemerintah sebagai pengelola dana dari masyarakat harus
mempertanggungjawabnya kepada masyarakat (publik) beserta DPR/DPRD sebagai
wakil dari rakyat. Mardiasmo (2009) menyatakan bahwa untuk tugas tertentu
keberadaan sektor publik tidak dapat digantikan oleh sektor swasta, misalnya
fungsi birokrasi pemerintahan. Sebagai akibatnya, akuntansi sektor publik dalam
beberapa hal berbeda dengan akuntansi di sektor swasta. Dengan adanya perbedaan
tersebut, maka pengelolaan keuangan dan pengendalian manajemen antara sektor
publik dan swasta memiliki perbedaan, salah satunya yaitu penganggaran.
Penganggaran merupakan salah satu aspek dalam pengelolaan
keuangan negara. Hal ini dilakukan dalam rangka mewujudkan tujuan negara
Indonesia, yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pemerintah
sebagai eksekutif memiliki peran dalam melakukan penyediaan pelayanan publik.
Anggaran merupakan salah satu alat yang dapat digunakan oleh pemerintah dalam
mengalokasikan sumber daya yang terbatas dalam penyediakan kebutuhan publik
yang tidak terbatas. Dengan adanya anggaran ini diharapkan pemerintah dapat menyediakan
pelayanan yang efektif dan efisien yang nantinya mampu meningkatkan mutu
pelayanan publik di Indonesia. Menurut Halim dan Kusufi (2016), anggaran di
sektor publik menjadi suatu rencana manajerial untuk menerapkan strategi
organisasi dalam meraih tujuan organisasi, yaitu penyediaan pelayanan publik. Dengan
demikian, proses penganggaran dalam sektor publik dimulai dengan proses perumusan
dan perencanaan strategi. Apabila organisasi sektor publik mampu merumuskan dan
merencanakan strategi dengan baik, maka diharapkan tujuan organisasi sektor
publik dapat diraih.
Perjalanan
sejarah penganggaran negara (pemerintah) Indonesia tidak terlepas dari
perubahan perundang-undangan yang berlaku, baik itu APBN (Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara) maupun APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Halim
dan Kusufi (2016) membagi pengelolaan keuangan negara, dalam hal ini mencakup
penganggaran, menjadi 3 fase yaitu fase penganggaran di era prareformasi,
penganggaran di era (pasca)-reformasi (periode 1999-2004) dan penganggaran di
era pasca-reformasi lanjutan (periode 2004-sekarang). Peraturan
perundang-undangan yang digunakan dalam masing-masing fase (periode) masih ada
yang digunakan tetapi juga terdapat beberapa yang diperbarui sesuai dengan
kondisi yang ada. Perkembangan paling menonjol terjadi pada era reformasi,
dimana diberlakukannya kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi. Pemerintah
pusat memberikan hak, wewenang, dan tanggung jawab kepada pemerintah daerah
(pemerintah tingkat di tingkat provinsi/kabupaten) dalam pengelolaan urusan
pemerintahannya sendiri, termasuk dalam penyusunan anggaran daerah. Dalam hal
ini dikenal dengan istilah APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Kebijakan
mengenai otonomi daerah ini muncul karena setiap daerah di Indonesia mempunyai
potensi, ciri/karakteristik yang berbeda-beda. Kesempatan untuk menjadi daerah
yang mandiri terbuka lebar seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah. Namun
hal ini juga menjadi suatu tantangan besar bagi daerah yang bersangkutan
(Halim, 2008). Oleh karena itu, memasuki era reformasi diarasa perlu adanya
pemberlakuan peraturan khusus yang mengatur keuangan negara dan daerah. Pemerintah
mengeluarkan Undang-Undang No 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah dan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 mengenai Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah. Undang-Undang ini memiliki perubahan dan perbedaan
mendasar dalam hal penyelenggaraan pemerintahan dan pengaturan keuangan,
khususnya anggaran Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat (Bastian, 2001).
Makalah ini akan
diawali dengan penjelasan pengertian anggaran dan penganggaran, kedudukan
anggaran di ruang lingkup akuntansi, anggaran sektor publik dan sektor swasta,
pentingnya penyusunan anggaran. Selanjutnya, akan dijelaskan tentang fungsi
anggaran di sektor publik, prinsip-prinsip dalam penganggaran di sektor publik,
pendekatan sistem yang digunakan pada penganggaran di Indonesia. Untuk bagian
terakhir makalah ini akan dipaparkan mengenai tantangan ke depan dalam
penyusunan anggaran.
Isi
Pengertian Anggaran
Sebelum membahas lebih
jauh mengenai berbagai sistem dan perkembangan penganggaran di Indonesia, perlu
terlebih dahulu melihat kembali pengertian dari anggaran. Berbagai ahli mencoba
untuk mendefinikan anggaran. Menurut Halim dan Kusufi (2012) mendefinisikan
anggaran, seperti yang didefinisikan oleh Sugiyanto (1995), sebagai rencana
kegiatan yang diwujudkan dalam bentuk finansial meliputi usulan pengeluaran
yang diestimasi dalam satu periode waktu, dan usulan mengenai langkah-langkah
untuk memenuhi pengeluaran tersebut. Halim dan Kusufi (2016) menambahkan
anggaran dalam arti sempit yaitu rencana pengeluaran dan penerimaan hanya dalam
kurun waktu satu tahun. Sedangkan dalam arti luas meliputi daur ulang anggaran,
yang merupakan proses penganggaran secara terus menerus, dimulai dari tahap
penyusunan anggaran oleh pihak-pihak berwenang. Menurut Bastian (2006),
anggaran merupakan paket pernyataan perkiraan mengenai penerimaan dan
pengeluaran yang dapat diharapkan akan terjadi dalam satu atau beberapa periode
mendatang. Di dalam tampilan anggaran selalu disertakan data penerimaan dan
pengeluaran yang terjadi di masa lalu.
Anggaran merupakan pernyataan
mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu
yang dinyatakan dalam ukuran finansial (Mardiasmo, 2009). Sedangkan Govermental Accounting Standard Board (GASB) mendefinisikan anggaran (budget) sebagai rencana operasi
keuangan, yang mencakup estimasi pengeluaran yang diusulkan, dan sumber
pendapatan yang diharapkan untuk membiayai dalam periode waktu tertentu. Sementara
Freeman & Shoulders (2003) menyatakan bahwa anggaran yang ditetapkan dapat
dipandang sebagai suatu kontrak kinerja antara legislatif dan eksekutif. Dari
berbagai pengertian anggaran dari beberapa ahli dan dewan standar akuntansi
pemerintah, maka dapat disimpulkan bahwa anggaran merupakan rencana kerja yang
dikuantitatifkan untuk satu periode tertentu yang terdiri atas estimasi
pengeluaran dan penerimaan, beserta langkah-langkah untuk memperoleh pendapatan
dalam mendanai rencana kerja tersebut.
Pengertian Penganggaran
Anggaran (budget) dan penganggaran (budgeting) memiliki definisi yang
berbeda. Mardismo (2009) mendefinisikan penganggaran sebagai proses atau metoda
untuk mempersiapkan suatu anggaran. Menurut Haruman dan Sri Rahayu (2007),
penganggaran (budgting) menunjukkan
suatu proses, sejak dari tahap persiapan yang diperlukan sebelum dimulainya
penyusunan rencana, pengumpulan berbagai data dan informasi yang perlu,
pembagian tugas perencanaan, penyusunannya sendiri, implementasi dari rencana
tersebut sampai pada akhirnya tahap pengawasan dan evaluasi atas hasil
pelaksanaan rencana tersebut. Halim dan Kusufi (2016) menambahkan penganggaran
di sektor publik terkait dengan jumlah alokasi dana untuk masing-masing program
dan aktivitas dalam satuan moneter. Sementara Hagen et al. (1996), penganggaran di sektor publik merupakan suatu bargaining
process antara eksekutif dan legislatif. Oleh karena itu, dari berbagai definisi
oleh para ahli di atas, penganggaran sektor publik merupakan proses perencanaan
atas rencana organisasi, baik itu berupa program atau kegiatan, yang dinyatakan
dalam satuan moneter selama suatu periode tertentu.
Anggaran di Ruang
Lingkup Akuntansi
Pada dasarnya akuntansi
di sektor publik maupun di sektor swasta, dibagi menjadi 2 bagian, yaitu
akuntansi keuangan dan akuntansi manajemen (Mardiasmo, 2009). Secara umum,
definisi dari akuntansi keuangan adalah sebuah proses mengidentifikasi,
mengukur, mencatat, dan melaporkan transaksi keuangan suatu entitas untuk
menghasilkan informasi, yang ditujukan kepada pihak luar (eksternal) organisasi,
dalam rangka pembuatan keputusan. Sedangkan akuntansi manajemen berfokus pada
penyediaan informasi bagi pihak internal organisasi. Selain pengguna laporan
keuangan, terdapat perbedaan mendasar lainnya seperti tujuan, ruang lingkup
informasi, rentang waktu, dan lain sebagainya.
Dalam konteks
organisasi sektor publik atau pemerintah, akuntansi pemerintahan yang ditujukan
untuk menghasilkan informasi keuangan bagi pengguna eksternal pemerintah adalah
akuntansi keuangan pemerintah. Sedangkan akuntansi pemerintahan yang ditujukan
untuk menghasilkan informasi bagi pengguna internal dalam pemerintah itu
sendiri, disebut dengan akuntansi manajemen pemerintah (Halim dan Kusufi, 2016).
Anggaran sebagai sarana
untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas publik, tidak dapat lepas dari
akuntansi keuangan maupun manajemen pemerintah. Anggaran dapat dikatakan
terkait dengan akuntansi keuangan karena adanya Laporan Realisasi Anggaran
(LRA) yang merupakan bagian dalam laporan keuangan pemerintah untuk pihak
eksternal. Dengan demikian, akuntansi keuangan berada pada tahapan pelaksanaan
dalam penganggaran sektor publik (Halim dan Kusufi, 2016). Sedangkan untuk
akuntansi manajemen berada pada tahapan perencanaan dan pengendalian atas
proses penganggaran tersebut.
Anggaran di Sektor
Publik dan Anggaran di Sektor Swasta
Anggaran di sektor
swasta merupakan rahasia perusahaan yang memiliki sifat tertutup bagi pengguna
informasi dari eksternal perusahaan. Dengan kata lain, anggaran hanya dapat
diketahui oleh pihak internal perusahaan, khususnya manajemen. Namun anggaran
di sektor publik, harus bersifat terbuka, dalam artian harus diinformasikan
kepada pengguna informasi internal dan eksternal (publik). Penginformasian
anggaran ini diharapkan dapat memberikan dorongan kepada publik untuk mengkritik,
mendiskusikan, dan memberi masukan atas anggaran yang diajukan oleh pemerintah.
Anggaran di sektor publik merupakan instrumen akuntabilitas atas pengelolaan
dana publik dan pelaksanaan program-program yang dibiayai oleh uang yang
berasal dari publik (Mardiasmo, 2009). Sebagai alat akuntabilitas, penganggaran
di sektor publik merupakan tahapan yang cukup rumit dan penuh nuansa politis
(Halim dan Kusufi, 2016), sehingga bukan hanya dapat mempengaruhi perkembangan
ekonomi saja, tetapi juga dalam aspek politik yang berkembang di sebuah negara.
Pentingnya Anggaran di
Sektor Publik
Anggaran di sektor
publik berhubungan dengan teori stewardship,
dimana teori ini mempunyai akar psikologi dan
sosiologi yang menjelaskan situasi dimana manajer menjadi steward dan bertindak sesuai kepentingan pemilik (Donald Son, dan
Davis: 1989, 1991 dalam Eko Raharjo: 2007). Apabila dihubungkan dengan anggaran,
pemerintah sebagai steward dipercaya
untuk mengelola dana masyarakat salah satunya dengan menyusun anggaran. Pemerintah
akan bertindak secara maksimal demi tercapainya kesejahteraan masyarakat
melalui penyusunan anggaran.
Dalam melaksanakan
fungsinya sebagai penyedia pelayanan yang maksimal kepada publik (masyarakat),
pemerintah diharapkan dapat mewujudkan akuntabilitas kepada publik. Dengan
adanya berbagai tuntutan dari publik kepada pemerintah untuk mewujudkan good government governance (tata kelola
pemerintah yang baik). Good government
governance ini nantinya diharapkan dapat meningkatkan pertanggungjawaban
dan transparasi atas pengelolaan keuangan negara, salah satunya proses
penyusunan anggaran, mulai dari tahap persiapan anggaran sampai dengan tahap
pelaporan dan evaluasi anggaran.
Menurut Mardiasmo
(2009), alasan pentingnya anggaran di sektor publik sebagai berikut:
a.
Anggaran
merupakan alat bagi pemerintah untuk mengarahkan pembangunan sosial ekonomi,
menjamin kesinambungan, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
b.
Adanya
kebutuhan dan keinginan masyarakat yang tak terbatas dan terus berkembang,
sedangkan sumber daya yang terbatas. Anggaran diperlukan karena adanya masalah
keterbatasan sumber daya (scracity of
resource), pilihan (choice), dan trade-off.
Karena keterbatasan sumber daya, langkah pemerintah akan
lebih terstruktur melalui penyusunan untuk menentukan program mana yang lebih
penting atau yang menjadi prioritas untuk segera dilaksanakan. Oleh karena itu,
penentuan prioritas tersebut akan menjadikan program pemerintah dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat dapat terlaksana secara efektif dan efisien.
c.
Anggaran
diperlukan untuk menyakinkan pemerintah telah bertanggungjawab terhadap dana
yang diperoleh dari masyarakat.
Anggaran di sektor publik merupakan alat akuntabilitas
badan eksekutif kepada badan legislatif dan masyarakat luas. Masyarakat akan
merasa lebih peduli dalam memberikan dana (dalam bentuk pajak, retribusi, dan
lainnya) apabila pemerintah menyusun anggaran, karena anggaran memberikan
informasi mengenai dana yang diberikan tersebut sudah jelas tujuannya penggunaannya
dan sumber-sumber penerimaan dana.
Fungsi
Anggaran di Sektor Publik
Anggaran di sektor
publik memiliki beberapa fungsi utama, sebagai berikut (Mardiasmo, 2009).
1. Anggaran sebagai alat perencanaan digunakan untuk mencapai tujuan dari organisasi. Anggaran di sektor
publik dibuat untuk merencanakan tindakan yang akan dilakukan oleh pemerintah,
biaya yang dibutuhkan, dan berapa hasil yang diperoleh dari belanja pemerintah.
2.
Anggaran
digunakan sebagai alat pengendalian (control
tool), untuk memberikan rencana yang detail atas pendapatan dan pengeluaran
pemerintah agar pembelanjaan yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat luas. Tanpa anggaran, pemerintah tidak mengendalikan
pemborosan-pomborosan pengeluaran. Selain itu, anggaran di sektor publik juga
dapat digunakan mengendalikan dalam rangka membatasi kekuasaan badan eksekutif.
3.
Anggaran
digunakan sebagai alat kebijakan fiskal (fiscal
tool) untuk menstabilkan ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Melalui
anggaran, dapat diketahui arah kebijakan fiskal pemerintah, sehingga dapat
dilakukan prediksi-prediksi dan estimasi ekonomi.
4.
Anggaran
sebagai alat politik (political tool)
dalam bentuk komitmen eksekutif dan kesepakatan legislatif atas penggunaan dana
publik (masyarakat) untuk kepentingan tertentu.
5.
Anggaran
dapat digunakan untuk koordinasi antar divisi dalam pemerintahan dan komunikasi
antar unit kerja dalam lingkungan eksekutif. Oleh karena itu, harus
dikomunikasikan ke seluruh bagian organisasi untuk dilaksanakan.
6.
Anggaran
dapat digunakan sebagai alat penilaian kinerja berdasarkan pencapaian target
anggaran daan efisiensi pelaksanaan anggaran.
7.
Anggaran
dapat digunakan sebagai alat memotivasi manajer dan staf agar bekerja secara
ekonomis, efektif dan efisien dalam mencapai target dan tujuan yang sudah
ditentukan.
8.
Anggaran
dapat menciptakan ruang publik bagi masyarakat dalam rangka melibatkan
masyarakat dalam proses penyusunan penganggaran.
Sedangkan menurut Bastian (2001) anggaran
di sektor publik memiliki fungsi sebagai berikut:
1. Anggaran merupakan hasil akhir proses
penyusunan rencana kerja.
2. Anggaran merupakan blue print (cetak biru) aktivitas yang akan dilaksanakan di masa
yang akan datang.
3. Anggaran sebagai alat komunikasi intern yang
menghubungkan berbagai unit kerja dan mekanisme kerja antara atasan dan
bawahan.
4. Anggaran sebagai alat pengendalian unit
kerja.
5. Anggaran sebagai alat motivasi dan persuasi
tindakan efektif dan efisien dalam pencapaian visi organisasi.
6. Anggaran merupakan instrumen politik.
7. Anggaran merupakan instrumen kebijakan
fiskal.
Dari fungsi yang telah disebutkan
diatas, dapat dilihat anggaran menjadi
hal yang krusial dalam pengelolaan keuangan suatu negara. Anggaran
memiliki berbagai fungsi, baik berkaitan dengan manajemen pengelolaan keuangan
negara (termasuk unit kerja yang terlibat), tindakan untuk mencapai visi,
penciptaan public sphere kepada
masyakat luas dan sampai dengan fungsi sebagai kebijakan fiskal yang dapat
mengerahkan perekonomian suatu negara menuju apa yang diinginkan. Oleh karena
itu, pemerintah diharapkan bertindak secara tegas dan memberikan perhatian
lebih dalam proses menyusun, mengimplementasi, dan mengevaluasi anggaran.
Prinsip-Prinsip dalam
Penganggaran di Sektor Publik
Niswonger, Fess, dan
Werren (1984) mendefinisikan prinsip sebagai pedoman pedoman terbaik yang ada,
yang didasarkan pada akal sehat, pengamatan (observation), serta percobaan untuk mendapatkan hasil yang terbaik.
Setiap organisasi untuk mencapai tujuannya secara maksimal, salah satunya harus
memiliki pedoman/acuan/patokan dalam menjalankan kegiatan/aktivitas, tak
terkecuali bagi organisasi sektor publik. Oleh karena itu, kaitannya dengan
anggaran, organisasi sektor publik juga harus memiliki pedoman-pedoman agar
penyusunan anggaran tersebut sesuai dengan yang apa diharapkan. Terdapat
beberapa prinsip dalam penganggaran di sektor publik, yaitu sebagai berikut.(
Mardiasmo, 2009)
1. Otorisasi oleh legislatif
Anggaran di sektor publik harus mendapatkan otorisasi/disahkan terlebih
dahulu oleh badan legislatif (DPR/DPRD) sebelum digunakan oleh badan eksekutif.
DPR dan DPRD sebagai wakil rakyat memiliki beberapa hak, salah satunya yaitu
hak budget yang merupakan hak DPR
untuk mengesahkan RAPBN menjadi RAPBN. Selain itu, dalam UUD 1945 Pasal 20A
ayat 1 menyebutkan bahwa DPR memiliki fungsi anggaran, yang merupakan fungsi
DPR untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan
terhadap rancangan undang-undang mengenai APBN yang diajukan oleh Presiden.
2. Komprehensif
Anggaran publlik harus menunjukkan keseluruhan dari pendapatan yang
diterima dan belanja yang dikeluarkan oleh pemerintah. Oleh karena itu, adanya
dana non-budgetair (dana yang
dikumpulkan/digunakan oleh pemerintah/negara untuk keperluan mendesak karena
APBN tidak dapat memenuhi kebutuhan departemen) pada dasarnya menyalahi prinsip
komprehensif ini.
3. Keutuhan anggaran
Semua penerimaan dan belanja harus dihimpun dalam suatu dana umum (general fund).
4.
Nondiscretionary Approciation
Jumlah yang disetujui oleh badan legislatif harus benar-benar dimanfaatkan
oleh badan eksekutif secara efisien, efektif, dan ekonomis (3E). Prinsip 3E ini
berkaitan erat dengan pertimbangan input,
ouput, dan outcome secara bersama-sama untuk mewujudkan peningkatan kinerja
pada badan eksekutif.
5. Periodik
Anggaran merupakan suatu proses yang bersifat periodik, sehingga dapat
bersifat tahunan atau multi-tahunan. Penyusunan anggaran secara periodik
bertujuan agar dapat diketahui jelas mengenai penentuan waktu untuk memulai
penyusunan anggaran baru dan waktu untuk mempertanggungjawabkannya.
6. Akurat
Estimasi anggaran hendaknya tidak memasukkan cadangan yang tersebunyi, yang
dapat dijadikan sebagai kantong pemborosan dan inefisiensi pada anggaran
sehingga dapat berdampak pada underestimate
atas pendapatan dan overstatement
atas belanja (pengeluaran).
7. Jelas
Anggaran yang dibuat sebaiknya tidak ambigu, sederhana, mudah dipahami, dan
tidak membingungkan. Salah satu fungsi anggaran yang dikemukakan oleh Mardiasmo
(2009) yaitu anggaran sebagai alat untuk menciptakan ruang publik, bukan hanya
kepada kabinet, birokrat, dan DPR/DPRD. Tetapi juga kepada masyarakat luas yang
memiliki tingkat pengetahuan yang beragam, sehingga anggaran diharapkan mudah
dipahami oleh berbagai kalangan masyarakat.
8. Diketahui publik
Anggaran harus diiinformasikan kepada publik (masyarakat luas).
Pengkomunikasian ini merupakan suatu bentuk akuntabilitas pemerintah kepada
masyarakat.
Sedangkan, prinsip penyusunan
anggaran (APBD dan APBN) di Indonesia pada umumnya berlaku sama, yaitu sebagai
berikut. (Bastian, 2001).
1. Prinsip anggaran yang berimbang dan dinamis
Penyusunan APBD haruslah mencerminkan keseimbangan antara penerimaan dan
pengeluaran.
2. Prinsip disiplin anggaran
Setiap Instansi/Dinas/Lembaga/Satuan/Unit Kerja seharusnya menggunakan
secara efisien, tepat guna serta tepat waktu dalam mempertanggungjawabankan
anggaran.
3. Prinsip kemandirian
Mengupayakan peningkatan sumber-sumber pendapatan sesuai dengan potensi
dalam rangka mengurangi ketergantungan kepada organisasi lain (misalnya:
pemerintah daerah pada pemerintah pusat).
4. Prinsip prioritas.
Pelaksanaan anggaran hendaknya tetap mengacu kepada prioritas utama
pembangunan di daerah.
5. Prinsip efisiensi dan efektifitas anggaran
Menyediakan pembiayaan dan penghematan yang mengarah pada skala proritas.
Pendekatan Sistem
Penganggaran di Indonesia
Sistem
penganggaran di Indonesia mengalami perkembangan seiring dengan majunya ilmu
pengetahuan dan teknologi, sehingga berdampak meningkatnya tuntutan masyarakat
atas keterbukaan dan akuntabilitas publik. Secara umum, terdapat dua pendekatan
utama dari sistem perencanaan dan penyusunan anggaran. Adapun pendekatan
tersebut sebagai berikut.
1. Pendekatan anggaran tradisional atau anggaran
konvensional
Anggaran tradisional memiliki karakteristik utama yang bersifat line item dan incrementalism. Sedangkan karakteristik pendukung lainnya meliputi
bersifat spesifikasi, cenderung sentralistis, tahunan dan menggunakan
prinsip-prinsip anggaran bruto (Mardismo, 2009).
Bastian (2001) mendefinisikan line
item budgeting merupakan penyusunan anggaran yang didasarkan kepada dan
darimana dana berasal (pos-pos penerimaan) dan untuk apa dana tersebut
digunakan. Penganggaran dengan line item
budgeting disusun dari tahun ke tahun
dengan item-item yang sama dan memiliki tujuan untuk melakukan pengendalian
keuangan dengan berfokus pada input,
dan mengabaikan output. Metode line item tidak memungkinkan untuk
menghilangkan item-item penerimaan atau pengeluaran yang telah ada dalam
struktur anggaran, walaupun sebenarnya secara riil item tertentu sudah tidak
relevan lagi untuk digunakan pada periode sekarang (Mardiasmo, 2009). Pendekatan
anggaran tradisional dengan line item
ini dianggap pendekatan yang paling tua dan memiliki banyak
kelemahan-kelemahan, meskipun relatif mudah dalam menggunakannya.
Bastian (2001) menambahkan line item
budgeting memiliki kelebihan dan kelemahan dalam pendekatan penyusunan
anggaran. Kelebihan line item budgeting
yaitu relatif mudah menelusurinya dan mengamankan komitmen di antara partisipan,
sehingga dapat mengurangi konflik. Sedangkan kelemahannya meliputi perhatian
terhadap laporan pelaksanaan anggaran penerimaan dan pengeluaran sangat
sedikit, diabaikannya pencapaian prestasi realisasi penerimaan dan pengeluaran
yang dianggarkan, dan para penyusun anggaran tidak memiliki alasan yang
rasional dalam menetapkan target penerimaan dan pengeluaran.
Ciri incrementalism pada
pendekatan anggaran tradisional, menurut Mardismo (2009) yaitu hanya menambah
atau mengurangi jumlah rupiah pada item-item anggaran yang sudah ada sebelumnya
sebagai dasar untuk menyesuaikan besarnya penambahan atau pengurangan tanpa dilakukan
kajian yang mendalam. Dengan demikian, penyusun anggaran hanya mengubah angka
rupiah pada tahun sebelumnya untuk tahun berjalan, entah itu meningkatkan
jumlah angka-angka rupiah atau menurunkannya. Seperti halnya dengan ciri line-item, incrementalism juga relatif mudah diterapkan akan tetapi memiliki
kelemahan. Salah satu kelemahannya yaitu anggaran atas pengeluaran tidak dapat
dinilai keefektifannya karena memang tidak adanya kajian yang mendalam sebelum
dilakukannya penganggaran.
Menurut Mardiasmo (2009) masalah utama anggaran tradisional ini terkait
dengan mengabaikannya konsep value for
money (konsep ekonomi, efisiensi, dan efektivitas). Hal ini mengakibatkan
pada akhir tahun anggaran terjadi kelebihan anggaran yang pengalokasiannya
kemudian dipaksakan pada aktivitas-aktivitas yang sebenarnya kurang penting
untuk dilaksanakan (Mardiasmo, 2009). Oleh karena adanya berbagai kelemahan dan
tidak berdasarkan konsep value for money
dalam penyusunan anggaran, pendekatan anggaran tradisional atau konvensional
ini mulai ditinggalkan.
2. Pendekatan New
Public Management
Seiring
dengan ditinggalkannya pendekatan anggaran tradisional, mulailah dikenal anggaran
dengan pendekatan NPM (New Public
Management) yang memiliki karakteristik yang berfokus pada kinerja.
Penggunaan paradigma New Public
Management menimbulkan beberapa konsekuensi bagi pemerintah diantaranya
adalah tuntutan untuk melakukan efisiensi, pemangkasan biaya (cost cutting), dan kompetensi tender
(Mardiasmo, 2009). Paradigma NPM ini berkaitan dengan konsep “reinventing goverment” yang merupakan
gagasan oleh David Osborne dan Ted Gaebler. Gagasan ini mencakup
10 prinsip untuk mewirausahakan birokrasi, meliputi pemerintah katalis,
pemerintah milik masyarakat, pemerintah yang kompetitif, pemerintah yang
digerakkan oleh misi, pemerintah yang berorientasi pada hasil, pemerintah yang
berorientasi pada pelanggan, pemerintah wirausaha, pemerintah antisipatif,
pemerintah desentralisasi, dan pemerintah yang berorientasi pada (mekanisme)
pasar. 10
prinsip tersebut bertujuan untuk menciptakan organisasi pelayanan publik yang smaller
(kecil, efisien), faster (kinerjanya cepat, efektif) cheaper (operasionalnya
murah) dan kompetitif. Dengan demikian, pelayanan publik oleh birokrasi bisa
menjadi lebih optimal dan akuntabel (Osborn dan Gaebler, 1997).
Pada
era New Public Management ini, muncul
beberapa teknik penganggaran di sektor publik, yaitu sebagai berikut:
a. Anggaran Kinerja (Performance
Budgeting)
Anggaran kinerja didefinisikan sebagai anggaran yang berhubungan dengan
akuntabilitas terkait dengan penganggaran publik, termasuk politik dan
keuangan, serta akuntabilitas kinerja (Rivenbark dan Kelly, 2006). Latar
belakang yang mendasari diterapkannya anggaran berbasis kinerja yaitu karena
adanya kelemahan-kelemahan yang ada dalam sistem anggaran
tradisional/konvensional. Misalnya, hubungan yang tidak memadai (terputus)
antara anggaran tahunan dengan rencana pembangunan jangka panjang, sejumlah
besar pengeluaran tidak pernah diteliti secara menyeluruh keefektifannya, lebih
berorientasi padaa input daripada output, proses anggaran terpisah untuk
pengeluaran rutin dan pengeluaran modal/investasi, dan kelemahan lainnya
(Mardiasmo, 2009). Dengan adanya kelemahan-kelemahan pada anggaran tradisional
tersebut, maka diperlukan adanya perubahan dalam penyusunan anggaran yang lebih
baik daripada sebelumnya. Selain itu, dengan penerapan anggaran berbasis
kinerja diharapkan dapat tercapainya tata kelola yang baik dalam pemerintahan (good government governance), serta
penggunaan sistem anggaran berbasis kinerja ini dinilai lebih baik, karena
lebih menekankan pada konsep value for
money dalam rangka meraih tujuan yang telah ditetapkan.
Penganggaran
kinerja terjadi ketika informasi kinerja menjadi bagian dari proses anggaran
selama fase pengembangan, implementasi dan evaluasi (Rivenbark dan Kelly,
2006). Anggaran kinerja juga didasarkan pada tujuan dan sasaran kerja. Selain
itu, Penilaian kinerja didasarkan pada pelaksanaan value of money dan efektivitas angaran. Oleh karena itu, dominasi
pemerintah akan dapat diawasi dan dikendalikan melalui penerapan internal cost awareness, audit keuangan
dan audit kinerja, serta evaluasi kinerja ekternal (Mardiasmo, 2009).
b. Sistem Perencanaan dan Penganggaran Terpadu (Planning, Programming, and Budgeting System
– PPBS)
Planning, Programming and Budgeting system merupakan sistem penganggaran yang didasarkan pada
perencanaan (strategic planning),
yang meliputi visi misi tujuan dan sasaran; kemudian diuraikan dalam bentuk
program dan kegiatan; dan selanjutnya dilakukan penganggaran. Program yang
dimaksud yaitu kumpulan dari kegiatan-kegiatan yang sejenis. PPBS melibatkan
aktivitas kelompok kerja ke dalam struktur program dan melakukan proyeksi
multi-tahun biaya program dan pencapaian. PPBS juga mencakup analisis metode
alternatif pencapaian tujuan program, termasuk biaya vs rasio manfaat dari
alternatif program (Vanderbilt, 1977). Pada sistem ini, kinerja melekat pada
program yang dijalankan, sehingga untuk mengimplementasikan PPBS, suatu
organisasi perlu mengembangkan kemampuan analisisnya untuk memahami secara
mendalam tujuan organisasi, termasuk kemampuan mengembangkan program beserta
indikator hasil untuk mencapai tujuan (Halim dan Kusufi, 2016).
Menurut Mardiasmo
(2009) kelebihan dari PPBS yaitu memudahkan pendelegasian tanggung jawab dari
manajemen puncak ke manajemen menengah, dapat mengurangi beban kerja dalam
jangka panjang, dan menghilangkan program yang overlapping atau bertentangan dengan pencapaian tujuan organisasi. Selain
memiliki kelebihan, sistem ini juga memiliki kelemahan yaitu PPBS membutuhkan
sistem informasi yang canggih, ketersediaan data, adanya sistem pengukuran, dan
staf yang memiliki kapabillitas tinggi sehingga berdampak pada dibutuhkannya biaya
yang besar; sulit diimplementasikannya sistem PPBS; sistem ini juga mengabaikan
realitas politik dan realitas organisasi sebagai kumpulan manusia yang
kompleks, serta kelemahan-kelemahan lainnya (Mardiasmo, 2009).
c. Anggaran Berbasis Nol (Zero Based Budgeting – ZBB)
Zero Based Budgeting ini merupakan sistem dengan membuat anggaran yang baru dan tidak
berpatokan dengan anggaran yang lama (tahun lalu). Dengan demikian, diasumsikan
anggaran dimulai dengan non (zero-base).
Sistem ZBB ini dibuat seolah-olah proses anggaran dimulai dari hal yang baru
sama sekali. Item anggaran yang sudah tidak relevan lagi dan tidak mendukung
pencapaian tujuan organisasi dapat hilang dari struktur aanggaran, atau mungkin
juga muncul item baru (Mardiasmo, 2009). Dalam sistem ZBB ini anggaran
berfungsi sebagai management control
interface atau sebagai alat pengendalian dalam manajemen.
Menurit Bastian
(2001), sistem ZBB memiliki keunggulan diantaranya yaitu proses pembuatan paket
keputusan dapat menjamin tersedianya informasi yang lebih bermanfaat, bagi
kepentingan manajemen, dana lebih dapat dialokasi dengan lebih efisien, dan
pengambil keputusan dapat memperoleh informasi mengenai kegiatan yang ada dalam
kondisi kritis dan mendesak. Sedangkan kelemahannya yaitu tidak mudah
diterapkan, terlalu mahal dan memakan banyak waktu, memerlukan keahlian khusus
dalam menentukan prioritas, dan lain sebagainya (Bastian, 2001).
Tantangan ke Depan
Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2003 mengenai Keuangan Negara, pada pasal 36 disebutkan bahwa akuntansi
di pemerintah menggunakan basis akrual diterapkan selambat-lambatnya 5 tahun
sejak diterbitkan undang-undang ini. Setahun setelahnya, diterbitkan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dimana pada pasal 70 ayat 2
disebutkan ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis
akrual. Hal ini mengindikasikan bahwa adanya hal mendesak untuk mengadopsi
akrual basis ke dalam sistem keuangan negara, salah satunya yaitu penganggaran.
Kajian dari Deloitte dalam
Simanjuntak (2005) menyebutkan bahwa akuntansi berbasis akrual secara
signifikan memberikan kontribusi untuk meningkatkan kualitas pengambilan
keputusan untuk efisiensi dan efektivitas, pengeluaran publik melalui informasi
keuangan yang akurat dan transparan, dan meningkatkan alokasi sumber daya
dengan menginformasikan besarnya biaya yang ditimbulkan dari suatu kebijakan
dan transparansi dari keberhasilan suatu program. Namun, penerapan sistem
keuangan berbasis akrual secara penuh tidak mudah dan akan menghadapi berbagai
macam kendala serta berdampak pada kerugian yang cukup besar bagi pemerintah
(Halim dan Kusufi, 2016). Hal ini nantinya juga akan berdampak pada penurunan
pelayanan yang diberikan pada masyarakat, menghambat perekonomian negara dan
kesejahteraan akan menurun. Gagasan mengenai penerapan anggaran berbasis akrual
memang sebuah gagasan yang menarik, sebagai sebuah bentuk reformasi di bidang
keuangan negara. Walaupun penerapan basis akrual hanya pada sistem akuntansinya
saja, sedangkan penganggarannya masih menggunakan basis kas (Halim dan Kusufi,
2016) Hal ini ditunjukkan dengan pengakuan pendapatan, belanja, dan pembiayaan
dalam Laporan Realisasi Anggaran (LRA) masih menggunakan basis kas sedangkan
untuk pengakuan aset, kewajiban, dan ekuitas dalam neraca sudah menggunakan
basis akrual. Walaupun penerapannya tidak mudah dan membutuhkan penyesuaian
dalam waktu yang tidak sebentar, keputusan untuk menerapkan basis akrual dirasa
sudah tepat. Dalam rangka, dalam rangka menerapkan sistem penganggaran berbasis
akrual perlu dilakukan kajian dan pertimbangan yang masak berkaitan dengan
kompleksitas konsep dan praktiknya, serta kondisi kesiapan SDM dan sarana
pendukung pengelolaan keuangan (Halim dan Kusufi, 2016). Kajian dan pertimbangan
yang telah dilakukan dapat dituangkan
dalam sebuah buku pedoman, yang nantinya dapat digunakan oleh akuntan di
pemerintahan sebagai panduan untuk menerapkan sistem penganggaran berbasis
akrual. Selain itu, ditunjang dengan SDM yang handal dengan memberikan berbagai
pelatihan-pelatihan, sehingga dapat meningkatkan kemampuan dan ketrampilan
mereka dalam kesiapan penerapan basis akrual secara penuh.
Penutup
Anggaran merupakan
rencana kerja yang dikuantitatifkan untuk satu periode tertentu yang terdiri
atas estimasi pengeluaran dan penerimaan, beserta langkah-langkah untuk
memperoleh pendapatan dalam mendanai rencana kerja tersebut. Sedangkan
penganggaran sektor publik merupakan proses perencanaan atas rencana
organisasi, baik itu berupa program atau kegiatan, yang dinyatakan dalam satuan
moneter selama suatu periode tertentu. Berbeda halnya dengan anggaran di sektor
swasta yang cenderung tertutup, anggaran di sektor publik harus bersifat
terbuka, dalam artian harus diinformasikan kepada pengguna informasi internal
dan eksternal (publik).
Anggaran menjadi hal yang sangat penting dalam pengelolaan
keuangan suatu negara. Anggaran memiliki berbagai fungsi, baik berkaitan dengan
manajemen pengelolaan keuangan negara, tindakan untuk mencapai visi, penciptaan
public sphere kepada masyakat luas
dan sampai dengan fungsi sebagai kebijakan fiskal yang dapat mengerahkan
perekonomian suatu negara menuju apa yang diinginkan. Secara
umum, terdapat dua pendekatan utama dari sistem perencanaan dan penyusunan
anggaran, yaitu pendekatan sistem penganggaran tradisional dan anggaran
konvensional yang memiliki karakteristik utama yang bersifat line item dan incrementalism dan pendekatan sistem New Public Management (NPM) yang terdiri atas anggaran kinerja,
PPBS (Planning, Programming and Budgeting
System), dan ZBB (Zero Based
Budgeting).
Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 menyatakan bahwa pengakuan dan
pengukuran atas pendapatan dan belanja menggunakan akuntansi berbasis akrual. Walaupun
saat ini sistem akuntansinya saja yang menggunakan basis akrual, akan tetapi
kemungkinan gagasan mengenai penerapan basis akrual pada penganggaran dapat
dilaksanakan di masa yang akan datang. Oleh karena itu, dalam rangka
menerapkan sistem penganggaran berbasis akrual perlu dilakukan kajian dan
pertimbangan yang masak berkaitan dengan kompleksitas konsep dan praktiknya, serta
kondisi kesiapan SDM dan sarana pendukung pengelolaan keuangan (Halim dan
Kusufi, 2016).
Referensi
Bastian, Indra.
2001. Akuntansi Sektor Publik di Indonesia. Edisi Pertama.
Yogyakarta: BPFE.
Eko Raharjo. 2007. Teori Agensi
dan Teori Stewardship dalam Perspektif Akuntansi. Fokus Ekonomi. Vol 2 No.
1: 37-46
Freeman, Robert
J. & Craig D. Shoulders. 2003. Governmental and Nonprofit
Accounting–Theory and Practice. Seventh edition. Upper Saddle River, NJ:
Prentice Hall.
Hagen, Terje P.,
Rune J. Sorensen, & Oyvind Norly. 1996. Bargaining Strength in Budgetary Process:
The Impact of Institutional Procedures. Journal of Theoretical Politics. Vol. 8 No 1. Hal 41-63.
Halim, Abdul.
2008. Analisis Invrestasi (Belanja Modal) Sektor Publik-Pemerintah Daerah.
Edisi Pertama. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Halim,
Abdul dan Muhammad Syam Kusufi. 2016. Akuntansi Sektor Publik, Edisi
Kedua. Jakarta: Salemba Empat
Halim,
Abdul dan M. Syam Kusufi. 2012. Akuntansi
Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah. edisi ke-4. Jakarta: Salemba
Empat
Haruman,
Tendi dan Sri Rahayu. 2007. Penyusunan Anggaran Perusahaan.
Edisi Kedua. Yogyakarta: Graha Ilmu
Mardiasmo. 2009.
Akuntansi
Sektor Publik. Edisi Keempat. Yogyakarta: Penerbit ANDI.
Niswonger,
C. Rollin, Warren, Carl. S., Fess, Philip. E. 1984. Accounting Principle. South-Western
Publishing Co.
Osborne, David
dan Ted Gaebler. 1997.
Mewirausahakan Birokrasi, terj. Abdul Rasyid, Jakarta: Pustaka
Binaman Pressindo
Rivenbark,
William dan Janet M. Kelly (2006). “Performance Budgeting in Municapal
Government”. Public Performance and
Management Review. Vol 30 No 1. Hal 35-46
Simanjuntak,
B. H. (2005). Menyongsong Era Baru Akuntansi Pemerintahan di Indonesia. Jurnal
Akuntansi Pemerintah, Vol 1 No 1.
Undang-Undang
Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara
Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah
Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah.
Vanderbild, Dean H. 1977. Budgeting
in Local Government: Where Are We Now? Public
Administration Review, Vol. 37, No. 5. Hal 538-542
Komentar
Posting Komentar